Penulis : Artimah Lena, Mahasiswa Pascasarjana S2 Ilmu Komunikasi Universitas Riau
PEKANBARU – Indonesia merupakan salah satu negara pengguna media sosial terbesar di dunia dan dikenal “cerewet” di media sosial. Media sosial menjadi ruang interaksi baru seiring pertumbuhan teknologi internet dan konvergensi media. Para pengguna media sosial telah menghimpun diri dalam ikatan kekerabatan masyarakat baru secara virtual. Populasi mereka sangat majemuk lantaran tidak dibatasi oleh sekat-sekat wilayah maupun prasyarat status sosial ekonomi. Mereka terhubung satu sama lain, saling berinteraksi dan menampilkan berbagai rupa ekspresi tanpa batasan, kapan saja dan di mana saja.
Pertumbuhan signifikan pengguna media sosial menyumbang pada peningkatan intensitas ekspresi komunikasi di media sosial. Fasilitas kebebasan berekspresi yang disediakan platform jejaring media sosial menjadi panggung spesial bagi masyarakat Indonesia yang senang “berceloteh”. Sayangnya, masyarakat Indonesia memiliki tingkat literasi yang masih rendah sehingga menyebabkan mereka sering lepas kendali yang berbuah ujaran kebencian (Hate Speech).
Hate Speech (Ucapan Penghinaan atau kebencian) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.
Kondisi ini akan semakin buruk jika rendahnya pemahaman mengenai ujaran kebencian bergandengan erat dengan rendahnya norma moral dan etika pengguna media sosial. Lalu, bagaimana solusi untuk menghindari Hate Speech di media sosial ?
Netiquette merupakan etika berinternet sekaligus perilaku sosial yang berlaku di media online. Tapi, apa alasannya, mengapa harus ada Netiquette? Setidaknya ada lima alasan. Pertama, pengguna media siber tidaklah setara dan berasal dari lingkungan yang sama pula. Kedua, komunikasi yang terjadi di media siber cenderung mengandalkan ada teks semata. Ketiga, di media siber konten tidak hanya langsung tertuju (direct) kepada pegguna yang diinginkan, tetapi bisa terjadi secara tidak langsung (undirect). Keempat, media siber tidak serta-merta dianggap sebagai media yang berbeda dan lepas dari dunia nyata. Kelima, etika berinternet diperlukan agar setiap pengguna ketika berada di dunia virtual memahami hak dan kewajibannya sebagai “warga negara” dunia virtual.
Sebagai pengguna (netizen), kita juga semestinya menghindari flaming atau tindakan mengunggah konten yang bersifat menghasut, memprovokasi, atau menyerang norma yang berlaku, misalnya di dalam grup atau forum. Sudah semestinya netizen memahami prinsip etika atau tata krama dalam menjalin komunikasi melalui media online.
Sumber :
Muannas, M., & Mansyur, M. (2020). Model Literasi Digital untuk Melawan Ujaran Kebencian di Media Sosial (Digital Literacy Model to Counter Hate Speech on Social Media). Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi, 22(2), 125-142.
Mawarti, S. (2018). FENOMENA HATE SPEECH Dampak Ujaran Kebencian. TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, 10 (1), 83.
Musyafaa, M. (2017). Hate Speech: Perspektif Dan Etika Di Media Siber. Jurnal Ilmiah Syi’ar, 17(2), 21-32.