Penulis
Marfi Ario, M,Pd
Berdasarkan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI) pada Desember 2022, program studi terbanyak di Indonesia adalah program studi bidang Pendidikan dengan total 6.127 program studi. Disusul pada peringkat berikutnya yaitu bidang Teknik, Sosial, Kesehatan, dan Ekonomi. Bukan hanya program studinya, mahasiswa terbanyak di Indonesia juga adalah mahasiswa dari program studi bidang Pendidikan dengan total 1.371.105 mahasiswa. Diperingkat berikutnya berasal dari bidang Ekonomi, Sosial, Teknik, dan Kesehatan.
Melihat data tersebut, sangat wajar jika kita berharap besarnya angkat tersebut berbanding lurus dengan kualitas pendidikan di Indonesia. Kita berharap bidang pendidikan bukan hanya menang dalam hal kuantitas, tetapi juga kualitas. Namun, harapan itu nampaknya belumlah terwujud. Pendidikan Indonesia saat ini belum dapat kita katakan berkualitas.
Salah satu indikator rendahnya kualitas pendidikan Indonesia dapat dilihat dari pencapaian Indonesia pada tes berskala internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment). Tes PISA adalah penilaian internasional tiga tahunan yang diselenggarakan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) untuk mengukur kemampuan anak-anak usia 15 tahun di bidang membaca, matematika dan sains. Peserta tes PISA sekitar 70 negara. Pelaksanaan tes PISA terakhir yang telah dipublikasikan hasilnya yaitu tahun 2018.
Hasil PISA 2018 menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak Indonesia masih berada pada kelompok kurang dengan skor rata-rata 371. Peringkat pertama diraih China (skor 555), kemudian diikuti Singapura (skor 549). Sementara itu skor rata-rata seluruh negara adalah 487. Pada kemampuan matematika, skor rata-rata Indonesia yaitu 379. Sebagai pembanding, skor China dan Singapura yaitu 591 dan 569. Sedangkan skor rata-rata seluruh negara adalah 489. Untuk kemampuan Sains, skor rata-rata Indonesia 396. Sedangkan skor rata-rata seluruh negara adalah 489. Dalam sistem PISA, nilai 40 setara dengan satu tahun pembelajaran. Skor anak-anak Indonesia berada sekitar 100 poin dibawah rata-rata yang mengindikasikan bahwa kemampuan literasi, matematika dan sains anak Indonesia tertinggal 2,5 tahun dibandingkan anak-anak di negara-negara OECD. Skor yang diperoleh Indonesia pada tahun 2018 tidak berbeda jauh dengan skor pada tahun-tahun sebelumnya. Berikut ini adalah pencapaian Indonesia sejak pertama sekali mengikuti PISA di tahun 2000.
Dua data yang penulis ungkap diatas sungguh sebuah Ironi. Satu sisi, jumlah prodi dan mahasiswa bidang pendidikan merupakan yang terbanyak di Negeri ini tetapi disisi lain kualitas pendidikan kita masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara di dunia. Oleh karena itu, perbaikan terhadap pendidikan Indonesia harus terus dilakukan. Jika kita bertanya, apa penyebab semuanya? Bagaimana solusi penyelesainnya? Maka jawaban pertanyaan ini bukanlah suatu hal yang mudah dan bisa ditulis dalam paparan yang ringkas. Perlu kajian mendalam dan usaha seluruh pihak dalam menanganinya. Tapi pada tulisan ini, penulis ingin menyoroti salah satu permasalahan dalam dunia pendidikan kita.
Jika kita berbicara tentang perbaikan pendidikan di Indonesia, maka salah satu hal paling penting yang harus diperbaiki adalah praktek pembelajaran di kelas. Tokoh paling berperan dan menjadi ujung tombak dalam hal ini adalah para guru (dan termasuk juga dosen). Guru merupakan tokoh sentral dalam proses pembelajaran yang berkualitas. Jika pembelajaran di kelas berkualitas, maka pendidikan Indonesia juga akan berkualitas. Sehebat apapun kurikulum yang dibuat oleh pemangku kebijakan, jika tidak dieksekusi dengan baik oleh guru, maka sia-sia semuanya. Kalaupun anggaran terus diperbesar, tapi praktek pembelajaran di kelas tidak sesuai dengan seharusnya, maka kualitas pendidikan pun akan jalan di tempat.
Pada titik inilah penulis melihat ada suatu masalah yang terus berulang bahkan selama puluhan tahun. Permasalahan ini hasil pengamatan penulis selama menjadi mahasiswa bidang Pendidikan (S1 tahun 2008, S2 tahun 2013, dan S3 tahun 2022) dan menjadi dosen bidang Pendidikan juga (sejak 2016). Coba bayangkan situasi berikut (siapapun yang pernah berkuliah atau menjadi dosen di jurusan pendidikan, akan mudah mengerti dengan kondisi ini). Pada tahun 2010, mahasiswa bidang pendidikan menulis skripsi tentang suatu model pembelajaran kontemporer yang mampu meningkatkan hasil belajar dengan latar belakang penelitian yaitu guru saat itu belum menerapkan model pembelajaran dengan konsep Student Center. Masih pembelajaran konvensional dengan model pembelajaran langsung. Suatu model pembelajaran yang tidak direkomendasikan oleh banyak teori-teori pembelajaran.
Singkat cerita, mahasiswa angkatan ini kemudian lulus dan menjadi guru. Pada tahun 2015, mahasiswa bidang pendidikan kembali menulis skripsi dengan topik yang sama, yaitu penerapan model pembelajaran dengan konsep Student Center. Latar belakang yang diangkat juga sama, karena guru saat itu (2015) masih menerapkan model pembelajaran yang belum sesuai dengan teori-teori pembelajaran. Padahal, guru saat itu (2015) adalah senior mereka yang pada tahun 2010 menulis skripsi serupa dan mengomentari guru sebelumnya. Lalu di tahun 2020, hal ini terjadi lagi. Mahasiswa menulis skripsi dengan topik yang sama dan latar belakang yang sama juga. Padahal guru yang mereka komentari adalah mereka yang menulis skripsi di tahun 2015 yang dulunya mengomentari hal yang sama. Begitu seterusnya berulang bertahun-tahun bahkan hingga saat ini.
Mengamati masalah diatas, muncul pertanyaan, mengapa hal itu terjadi? Mengapa ketika menjadi mahasiswa, mereka tahu teori pembelajaran dan mengomentari guru-guru sebelumnya, tetapi begitu mereka telah menjadi guru, mereka justru melakukan hal yang sama dengan guru yang dulu mereka komentari? Apa yang menyebabkan ini semua? Jika masalah ini terus berulang, maka sulit kita mengharapkan kualitas pendidikan yang baik. Jika proses pembelajaran di kelas masih menggunakan model pembelajaran yang jauh dari teori pembelajaran yang seharusnya, maka wajar jika hasil pendidikan kita jauh tertinggal dari negara-negara lain.
Mengapa guru masih menerapkan model pembelajaran yang berpusat kepada guru dan tidak menggunakan model atau strategi pembelajaran sebagaimana disarankan oleh para ahli? Jawabannya secara ringkas disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman guru tentang model atau strategi pembelajaran kontemporer. Kedua, disebabkan oleh kurangnya komitmen guru dalam menjalankan teori yang telah diketahuinya.
Masalah pertama bisa diselesaikan dengan belajar. Hal ini dimulai sejak guru tersebut masih menjadi calon guru, yaitu ketika menjadi mahasiswa bidang pendidikan. Setiap mahasiswa bidang pendidikan harus belajar dengan baik agar menguasai teori-teori pembelajaran. Teori ini kemudian akan menjadi bekal ketika ia telah menjadi guru. Jika saat ini ia sudah tidak menjadi mahasiswa, maka ia dapat meningkatkan pengetahuannya melalui seminar, workshop, dan mengikuti forum diskusi sesama para guru lainnya. Intinya, setiap guru wajib menambah dan memperbaharui pengetahuannya, khususnya tentang perkembangan praktek pembelajaran kontemporer.
Masalah kedua, tentang komitmen. Jika masalah pertama telah teratasi belum tentu praktek pembelajaran di kelas bisa berjalan sesuai harapan. Banyak guru yang tahu tentang teori pembelajaran, tetapi tidak menerapkannya. Alasannya tentu banyak. Mulai dari beban tugas yang banyak hingga masalah sulitnya menerapkan teori tersebut. Memang harus diakui, bahwa menerapkan model pembelajaran dengan konsep student center jauh lebih sulit dibandingkan dengan pembelajaran langsung. Model-model pembelajaran yang mengedepankan keaktifan siswa dalam membangun sendiri pengetahuannya memang membutuhkan usaha lebih besar dari guru.
Mulai dari persiapan yang lebih banyak dan harus benar-benar matang, hingga kesabaran ekstra ketika melaksanakannya. Jika dalam pembelajaran langsung misalnya guru langsung menyampaikan rumus dan memberikan contoh soal, dalam pembelajaran kontemporer guru harus menerapkan teori scaffolding hingga siswa menemukan sendiri rumus tersebut. Terkadang guru tidak sabar dan tidak mau merepotkan diri dalam membimbing siswa menemukan rumus tersebut. Lebih mudah dengan menyampaikan saja rumus tersebut secara langsung dan memberikan contohnya. Oleh karena itu, banyak guru lebih memilih untuk menerapkan model pembelajaran langsung saja. Hanya guru dengan komitmen yang tinggi yang mampu menerapkan model dan strategi pembelajaran kontemporer yang disarankan oleh para ahli.
Lantas, apa peran Perguruan Tinggi (khususnya dosen) bidang pendidikan dalam mengatasi hal ini? Untuk penyebab/masalah pertama, maka dosen harus benar-benar memberikan ilmu dan teori-teori pembelajaran kepada mahasiswa bidang pendidikan. Setiap lulusan program studi pendidikan harus dipastikan telah menguasai teori-teori pendidikan atau pembelajaran. Karena tanpa pengetahuan yang cukup, maka mustahil guru bisa melakukan praktek pembelajaran yang baik. Untuk penyebab/masalah kedua berupa komitmen, maka solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan teladan. Ketika dosen mengajar mahasiswa, maka dosen juga harus menerapkan teori-teori pembelajaran di kelasnya. Dengan demikian, maka mahasiswa tidak hanya mendapatkan teori saja, tetapi mendapat teladan langsung dari dosennya. Begitu mahasiswa tersebut menjadi guru, maka diharapkan ia bisa mencontoh dosennya dulu ketika ia kuliah.
Penulis teringat dengan salah satu dosen yang menjadi inspirator dalam hal ini, yaitu Prof. Turmudi, M.Ed., M.Sc.,Ph.D. yang merupakan dosen penulis dalam mata kuliah Kajian Pedagogik. Dalam proses perkuliahan, beliau memberikan banyak ilmu-ilmu tentang pedagogik (ilmu bagaimana mengajar) kepada kami para mahasiswa. Tapi tidak sebatas memberikan teori, praktek pembelajaran pada mata kuliah ini pun sesuai dengan teori yang disampaikan. Proses pembelajaran berpusat kepada mahasiswa. Diskusi di kelas ini menjadi sangat hidup sehingga seringkali perkuliahan ini melewati jam perkuliahan yang telah ditetapkan. Diakhir perkuliahan, beliau memberikan kasus/soal pemecahan masalah yang harus kami pecahkan, lalu beliau memberikan Scaffolding kepada kami hingga berhasil memecahkan masalah tersebut. Dari perkuliahan ini kami diajarkan tentang teori Scaffolding dan mengalami secara langsung bagaimana beliau mempraktekkan teori tersebut kepada kami. Sungguh suatu pembelajaran yang ideal. Memadukan teori dan praktek secara bersamaan. Kelas ini telah mengajari dan memberikan inspirasi khususnya kepada penulis bagaimana pembelajaran dikelas seharusnya dilaksanakan.
Pengalaman diatas penulis sampaikan untuk memberikan gambaran sederhana tentang hal yang dapat dan harus dilakukan dosen agar mampu memberikan teladan kepada mahasiswa calon guru. Jika semua dosen melakukan hal yang sama, maka besar harapan guru pun suatu saat nanti melakukan hal yang sama di kelas-kelas mereka. Jika guru-guru Indonesia telah menerapkan pembelajaran berkualitas di kelasnya, maka harapan pendidikan berkualitas akan dapat terwujud. Dengan demikian, pendidikan Indonesia bukan saja menang dalam kuantitas tetapi juga kualitas. Skor PISA yang selalu konsisten dibawah rata-rata suatu saat dapat konsisten selalu diatas rata-rata.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh guru/dosen yang telah memberikan teladan dan inspirasi terbaik selama penulis mengenyam pendidikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh guru yang telah memberikan dedikasi dan komitmen yang kuat dalam praktek pembelajaran di kelas mereka. Penulis meyakini selalu ada guru-guru hebat yang menerapkan pembelajaran berkualitas di kelas mereka. Melalui guru-guru seperti inilah, harapan kualitas pendidikan dapat terwujud. Semoga pendidikan Indonesia segera mampu menyamai atau melebihi kualitas pendidikan di negara-negara maju.