Riska Novia Sari*
Era revolusi industry 4.0 yang mengusung tema IoT (Internet of Things) ditandai dengan terintegrasinya teknologi dalam setiap aspek kehidupan manusia. Tidak terkecuali pada aspek pendidikan. Banyak hal positif yang dapat diperoleh dengan perkembangan teknologi, salah satunya yaitu kemudahan akses informasi. Kejadian di belahan benua lain bisa segera kita ketahui hanya melalui layar smartphone, komputer, tablet dan televisi. Hal positif lainnya yaitu kemudahan dalam berkomunikasi, berkolaborasi dengan mitra yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. Banyaknya platform-platform komunikasi yang dikembangkan dan dapat kita manfaatkan untuk mendukung suatu pekerjaan maupun proses pembelajaran seperti zoom meeting, google meet, dan lainnya. Namun selain dampak positif, perkembangan teknologi juga memberikan dampak negatif diantaranya yaitu krisis moral atau biasa disebut dengan degradasi moral.
Degradasi moral generasi abad 21 khususnya dalam dunia pendidikan di Indonesia terlihat dari mulai berkurangnya kesopanan dan tata krama siswa terhadap guru. Siswa bersikap acuh tak acuh dengan nasehat yang diberikan oleh guru, bahkan di beberapa pemberitaan terdapat siswa yang berani menggambar tak senonoh di papan tulis di hadapan guru perempuan (Sindonews.com, 13 Maret 2022). Selain itu juga terdapat kasus siswa yang melakukan perundungan/membully guru dan kasus perundungan antar siswa, bahkan baru-baru ini ada kejadian siswa MTs meninggal dunia akibat bullying di sekolah (Kompas.com, 15 Juni 2022). Miris, lantas apa solusi dari permasalahan tersebut? Pendidikan karakter diinisiasi dapat menjadi solusi dari permasalahan degradasi moral.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Dalam pelaksanaan pendidikan karakter dapat mengacu pada tripusat pendidikan menurut Bapak Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa dan disebut juga sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Hal ini sejalan dengan Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang penguatan pendidikan karakter. Tripusat pendidikan yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat.
Pendidikan Keluarga. Menurut Ki Hadjar Dewantara, keluarga adalah lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Dengan demikian, peran keluarga dalam hal pendidikan bagi anak, tidak dapat tergantikan sekalipun anak telah dididik di lembaga pendidikan formal maupun nonformal. Saat di rumah, seseorang akan berinteraksi dengan anggota keluarga. Di sini, penanaman nilai-nilai yang baik akan sangat menentukan karakter seorang anak. Apakah anak tersebut akan dibentuk untuk memiliki karakter yang positif ataupun negatif, orangtua dan anggota keluarga lainnya memiliki perannya masing-masing terhadap hal itu.
Pendidikan Sekolah. Di sekolah, guru memainkan peran untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan pada diri anak. Tugas guru diantaranya menekankan dan menguatkan nilai-nilai karakter yang sebelumnya sudah diperoleh peserta dari lingkungan keluarganya. Selain itu, memperbaiki nilai-nilai karakter yang dirasa tidak sesuai atau nilai karakter yang negatif. Adapun metode pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah yang dapat dilakukan oleh guru atau lembaga pendidikan yaitu melalui metode mengajarkan dan keteladanan. Pengimplementasian pendidikan karakter di sekolah dapat disajikan secara nyata, baik berupa tambahan pelajaran khusus pendidikan karakter atau disajikan terpadu dalam bahan ajar, juga diwujudkan dalam kegiatan ekstra kurikuler (pengembangan diri) dan dimasukan sebagai muatan lokal
Pendidikan Masyarakat. Setelah dari rumah dan sekolah, terdapat lingkungan yang terbuka dan lebih luas, yaitu masyarakat. Lingkungan masyarakat akan sangat berperan dalam membentuk karakter anak. Lingkungan masyarakat yang baik akan membantu pembentukan karakter anak menjadi baik, begitu pula sebaliknya ketika lingkungan masyarakat itu kurang baik maka akan membentuk karakter anak yang tidak baik. Di lingkungan masyarakat ini, anak akan banyak mengalami dan melihat secara langsung realita kehidupan yang terjadi. Di sinilah diharapkan anak mampu mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan yang telah didapatnya di rumah dan juga di sekolah. Selanjutnya, dari lingkungan masyarakatlah, kita akan lebih jelas mengetahui apakah nilai-nilai karakter yang sudah diajarkan dan ditanamkan di lingkungan keluarga dan sekolah berhasil atau tidak.
Jadi, permasalahan degradasi moral yang sedang dihadapi bangsa Indonesia bukan hanya merupakan tanggung jawab lingkungan pendidikan sekolah saja tetapi merupakan tanggungjawab bersama-sama semua lingkungan yang terkait yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Dengan betul-betul diterapkannya pendidikan karakter di ketiga lingkungan tersebut maka karakter seorang anak akan dibentuk, jiwa kepemimpinan dan saling membantu satu sama lain, serta tumbuhnya cinta kepada budaya bangsa agar dapat membentuk generasi-generasi penerus bangsa yang baik (*Mahasiswa Doktoral Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia, Penerima BPI Tahun 2022, Dosen Universitas Pasir Pengaraian).